Sebuah Cerita Cerminan

Cinta Yang Salah

Sore ini langit mendung, awan hitam menghiasi angkasa. Namun hujan belum menunjukan tanda-tanda akan turun. Angin berhembus kencang, memaksa ranting dan dedaunan untuk pergi dari pohonnya. Alam seakan murka. Membuat siapapun enggan keluar apalagi sekedar duduk menikmati alam. Namun, aku malah memaksa diri untuk duduk di halaman rumah. Menengadahkan kepala. Hatiku terasa sakit. Sakit sekali. Ku tatap tajam langit, rintikan hujan mulai turun deras, dalam sekejap seluruh badanku telah basah kuyup. Inginku menumpahkan amarah ini kepadanya. Namun apa kuasa, kilat dan petir menggelegar membelah langit sore ini, seolah hendak membalas amarahku.
Ku tundukkan kepala. Pasrah akan takdir langit yang akan terjadi. Air mataku jatuh. Hatiku benar-benar telah sakit. Tuk kedua kalinya, aku menangis hanya karena cerita cinta. Ku gigit bibir ini kuat-kuat demi menahan amarah hati yang semakin membara. Ingin ku berteriak. Menghempaskan semua gejolak dalam dada. Membiarkannya pergi bersama semilir angin. Mengapa cerita ini terulang kembali?? Persis, meski dengan tokoh dan karakter yang berbeda. Mengapa alam begitu tega kepadaku??
Tatapanku kosong. Pikiranku melayang, menyusuri kembali cerita 6 bulan silam. Cerita ketika aku sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan tersakiti untuk pertama kalinya jua.
Selasa, 10 Agustus 2010
Mentari telah bersembunyi di balik mayapada. Menimbulkan sinar kemerahan yang menawan hati setiap insan. Mengingatkan kita akan Agungnya Ciptaan Tuhan. Seperti hatiku kala itu. aku baru saja kembali ke pondok pesantren. Seperti kebanyakan santri lainnya, setelah libur panjang tamrin akhir, semua santri diwajibkan mengikuti ngaji kilataan ramadhan selama 20 hari. Setelah membawa pakaian dan barang-barang ke dalam gotaan. Aku terduduk di teras ndalem. Istirahat sejenak sambil menyapa teman-teman yang juga berniat menghabiskan ramadhan di pondok. Ku rapikan kembali jilbabku yang berantakan. Mataku berhenti berkedip tatkala melihat seorang lelaki yang sedang asyik berbincang dengan abah. Siapa dia? Baru kali ini aku melihatnya di lingkungan pesantren. hmmmm,, lumayan juga. Gumanku lirih.
Selepas magrib, ku berniat untuk sowan kepada bu nyai. Ku rindu tutur kata dan nasihat beliau yang selalu membuat batinku bergetar. Ku rindu sentuhan lembut tangannya. Ku rindu pandangan matanya. Ku rindu segalanya.
“Hmm,, mbak Aulia. Kapan mbak tekan pondok??di terke sopo ndek wau??” tanya bu nyai yang membuat buyar lamunanku.
“nembe jam 4, ndek wau kaleh bapak.” Jawabku sambil menundukkan kepala.
“oow,,iya wes. Ndang balek nak pondok. Mbak anis diiwangi masak nak dapur iya??”
”nggeh,,”
Ku melangkahkan kaki hendak meninggalkan ndalem setelah menjabat tangan bu nyai dengan penuh takzim. Namun langkahku terhenti oleh sebuah suara. Ku telurusi setiap sudut ruangan, mencari darimana datangnya suara tersebut.
“mbak,, aku nyuwun tulung iya. Aku celukno mbak Ruli,,di timbale bu nyai.”
“eng,,enggeh guz.” Ucapku tergagap.
Jantungku seolah berhenti, udara dingin seraya membuatku beku. Aku terkesima. Ya Allah Betapa Sempurnanya Ciptaan-Mu. Ucapku lirih. Sejak saat itu, aku lebih sering ke ndalem, meski semua pekerjaan telah selesai. Melihatnya duduk sambil murattal Al-qur’an, melihatnya ketika bermain bola dengan santri-santri putra. Hari-hariku terasa begitu indah. Walau aku jarang sekali bisa berbicara secara langsung dengannya, melihatnya saja telah membuatku terpesona.
Jum’at, 13 Agustus 2010
Hari itu, aku hendak pergi ke ndalem. Hendak membersihkan rumah seperti sore-sore yang lalu. Ku telusuri setiap ruangan, namun tak ku temukan sosok tersebut. dimanakah dia. Dimanakah sang pangeran yang telah membuatku jatuh cinta. Setelah lelah mencari. Akhirnya ku putuskan untuk duduk sembari menghilangkan lelah. Tak kusadari mbak Anis telah lama ikut duduk di sampingku.
“heh dek, nglamun ae. Mikir sopo tow??” Tanya mbak Anis mengagetkanku.
‘Ya Allah mbak, ngagetno wong ae.”
“lha sampean kie nglamun ae. Mikir sopo tow.”
“ee,,, ugak sopo-sopo kok. Eh iya mbak, gus Tamam nak ndie,ndungaren kok ugak muratal Al-qur’an koyo biasane.”
“ee,, gus Tamam tow, ndek esuk wes balek nak pondok Kediri. Kenek opo nuw??”
“ugak enek opo-opo kok. Cuma takon.” Jawabku mengakhiri perbincanganku dengan mbak Anies sore itu.
Rabu, 01 September 2010
Hujan turun membasahi bumi, menambah kesejukan sore itu. menambah sebuah kebahagian bagi mereka yang berpuasa. Teman-teman pun asyik bercengkrama menanti bedug magrrib berkumandang. Aku hanya tersenyum menanggapi ajakan mereka dan memutuskan untuk menikmati hujan sore di depan diniyyah. Aku ingin sendiri. Teringat kembali bayangan wajah gus Tamam. Aku kangen. Aku rindu sekali dengannya. Rindu suaranya ketika murattal Al-qur’an. Rindu kegembiraannya saat bermain bola.
***
Hand phone ku berdering. Siapa yang SMS malam-malam seperti ini. Pikirku kala itu. cepat-cepat ku ambil Hp tersebut. Ku baca kata perkata yang tertulis dalam layarnya. Aku terkejut tak menyangka, tapi juga bahagia. Tak pernah terbayangkan dia akan mengirim SMS untukku. Darimana dia tahu nomor Hp ku?? Gumanku lirih. Ku baca sekali lagi SMS tersebut. apakah aku bermimpi. Ku tepuk pipiku. Huch sakit. Ini benar-benar kenyataan. Dia menanyakan kabarku.
Sejak saat itu, aku sering berkomunikasi dengannya. Keakrakaban pun mulai terbangun. Perasaan yang telah lama tersimpan mulai bersemi kembali. Aku mulai jatuh cinta dengannya.
Minggu, 26 September 2010
Setelah sekian lama memendam perasaan ini, aku tak kuasa menahannya sendiri. Namun, ketika aku berniat menceritakan perasaan ini kepada Ima,sahabat-ku. Kenyataan tak berpihak padaku. Dia juga jatuh cinta pada orang yang sama. Gus Tamam. Seketika hatiku hancur. Aku ingin menangis. Kuurungkan niatku untuk bercerita kepadanya. Apa yang harus aku lakukan Tuhan. Akankah aku melukai perasaan sahabatku sendiri. Tidak. Aku tidak akan bisa melakukannya. Biarlah sakit ini aku yang merasakannya. Biarlah.
Sejak kejadian itu, aku jarang berkomunikasi dengannya, atau lebih tepatnya menghindar darinya. Ku buang jauh-jauh semua perasaan yang telah lama tersimpan di hati. Aku berusaha untuk tidak menjalin hubungan dengannya. Walau terasa sulit sekali.
Hari-hariku berjalan hambar. Aku mulai malas ke ndalem, malas ngaji dan malas melakukan kegiatan apapun. Hingga ku putuskan untuk pulang sementara waktu agar ku bisa menenangkan hati dan perasaan ini.
Senin, 01 November 2010
Sore ini cerah, semilir angin menambah kesejukan. Aku berdiri di tepi sungai dekat rumahku. Airnya jernih, ikan-ikan terlihat berlalu lalang. Aku tersenyum. Telah satu bulan lebih aku menghabiskan waktu di rumah. Aku harus kembali ke pondok pesantren. aku tak boleh menyerah hanya karena masalah ini. Toch, mereka adalah sahabatku sendiri. Aku harus kembali ceria lagi.
Keesokan harinya. Aku telah membulatkan tekad untuk kembali lagi ke pondok pesantren. aku rindu kawan-kawanku. Aku rindu canda mereka, walau kadang menjengkelkan. Aku rindu nadhoman alfiyah bersama, aku rindu saat harus antri mandi hingga 3 jam. Aku rindu dengan tugas-tugas diniyyah yang menumpuk. Aku rindu kesibukan disana. Dan tak dapat dipungkiri, aku juga rindu akan senyuman Gus Tamam, meski ku tahu ku tak akan pernah memilikinya.
Sesampainya di pondok, teman-teman ricuh menyambut kedatanganku. Ada yang menyambut senaang kedatanganku karena kangen. Ada pula yang jengkel karena aku terlalu lama di rumah.
“hech Aulia, mek opo ae sampean kie nak omah, betah temen. Santiku tow wes ugak mbalek.” Celoteh Ifa.
“iya fa, mek opo ae kuwi Aulia nak omah. Piye progame?? Wes iso nglalekno si dia tow.” Ucap mbak Anis yang tiba-tiba muncul di pintu gotaan.
“si dia sopoi mbak??” Tanya mereka serentak. “hayoow sopo wie?”.
“sopo tow, ugak sopo-sopo. Mbak Anies i enek-enek ae.” Jawabku dengan wajah salting.
Riuh dan canda tawa sore itu memenuhi gotaanku. Menambah lengkap kebahagianku. Ternyata masih ada teman-teman yang sayang terhadapku. Aku tak sendiri. Aku harus lebih baik lagi. Aku tak ingin melihat mereka sedih karenaku. Jujur, meski ku belum bisa membuang semua perasaan ini hingga saat ini.
Rabu, 29 Desember 2010
Selepas subuh, udara sejuk nan segar tersedia melimpah di bumi ini. Tercipta untuk siapa saja yang mau bersyukur atas nikmat ciptaan Tuhan. Mentari pun akan segera terbit di ufuk timur. Menimbulkan warna Kemerahan indah penghias alam raya.
Telah kukemasi beberapa pakaian dan buku, aku berniat pulang. Menghabiskan sisa-sisa liburan semester ganjil di rumah. Ketika ku selesai sowan, tak sengaja aku berpapasan dengan gus Tamam. Ku tundukan kepalaku dalam-dalam. Tak perduli dengan sapaannya. Ku terus berjalan meninggalnya. Dalam hati ku mengutuk diri,huch kenapa tadi tak berhenti. Apa salahnya menjawab sapaannya. Katanya kangen.
Minggu, 02 Januari 2011
Malam yang indah, langit bersih tak berselaput awan. Ribuan bintang bertaburan di angkasa, membentuk berbagai macam formasi. Angin malam membelai rambut. Lembut. Menyenangkan. Menelisik, bernyanyi di sela-sela telinga. Menemani dan menghibur diriku yang sedang di rundung kesendirian. Sepi.
Sudah tiga hari, aku menghabiskan liburan di rumah. Besok penerimaan raport. Hatiku gundah. Bukan karena takut nilai merah, tapi berbagai kenangan tentang gus tamam kembali terekam. Aku takut. aku telah berjanji tak kan mengganggunya. Ingin sekali ku menghubunginya, rasa kangen ini tak tertahankan. Namun, keraguanku melumpuhkannya. Aku akan berjanji melupakannya.
Dering Hp membuyarkan lamunanku. Sebuah SMS tanpa nama. Siapa ini?? hatiku bertanya-tanya. SMSnya singkat,”Aulia,,”ku balas SMS tersebut. oh ternyata Gus Zaka, putra bu nyai pondok pesantren Nurul Huda Tuban. Ada gerangan apa dia SMS aku. Pikirku. Telah lama aku tak berkomunikasi dengannya, bukankah dia temannya gus Tamam.
Aku tak tahu, apakah semua ini telah di rencanakan sebelumnya atau hanya sebuah ketidaksengajaan belaka. Namun, kehadiran gus Zaka membantuku melupakan sejenak kenanagan-kenangan bersamam gus Tamam. Mengisi hari-hariku yang dulu sunyi dan hambar. Semua perhatiannya, perlakuaannya kepadaku menambah point positif ku untuknya.
Minggu, 09 Januari 2011
Ku berjalan gontai menyusuri lorong-lorong sekolah. Mataku sembab. Satu dua kali air mataku masih menetes dari kedua bola mataku. Aku tak tahu harus menjawab apa. Tadi malam gus Zaka menyatakan perasaannya kepadaku.
“neng, bolehkah aku mengatakan sesuatu kepadamu??”, tanyanya mengawali pembicaraan malam itu.
“tentu saja, kenapa tidak?? Mau bicara apa sih??”, jawabku
“hmmm,, sekian lama aku mengenalmu. Tak ku tahu darimana datangnya perasaan ini. Perasaanku padamu jauh lebih special. Aku ingin menjadi lebih dari seorang sahabatmu. Aku ingin menjadi teman spesialmu. Dan aku sayang kepadamu lebih dari seorang teman. Maukah kau menjadi seorang calon zaujaty untuk menggapai Ridho-Nya??” ucapnya penuh penghayatan.
Aku tertegun, tak tahu harus berbuat apa. Bayangan gus Tamam memenuhi otakku. Mataku berkaca-kaca. Aku menangis sesegukan, kemudian ku berlari meninggalkannya. Sesampainya di rumah, ku kunci pintu dan menangis sepuasnya di kamar. Aku belum bisa mencintainya. Aku hanya menganggapanya sebagai seorang sahabat. Tak lebih. Tuhan, apa yang ahrus aku lakukan.
Ku ceritakan masalah ini kepada saudara sepupuku. Ku berharap akan mendapat pemecahan dari masalah ini.
“ piye kie?? Aku binggung.”
“ nak menurutku, terimo ae Him. Rasa sayang iku iso muncul seiring berjalane waktu. Kesempatan tak akan datang dua kali. Wes tow ngandel aku, trimo ae dia??”
Aku tidak puas dengann jawaban saudara sepupuku, ku ceritakan kembali masalah yang ku hadapi kepada sahabat-sahabatku. Namun, sia-sia. Tak ada yang mendukungku. Semua menjawab dengan nada yag sama. Akankah aku harus menerimanya?? Dan memaksa hatiku untuk bersabar menunggu perasaan yang sama datang di hati. Tresno jalarann soko kulino. Apakah pribahasa tersebut juga berlaku pada diriku.
Kamis, 13 Januari 2011
Hari ini, aku berniat memberi kepastian kepadanya. Aku tak mau menggantung orang lebih lama. Ku telah memutuskan untuk bersedia menunggu perasaan yang sama datang di hatiku. Biarlah waktu yang menjawab semua ini. Mungkin aku jahat, menerima cinta orang, tapi aku sendiri belum bisa mencintainya sepenuh hati. Hatiku masih tertaut dengan gus Tamam. Huccf,,, ku hembuskan nafas berat. Semoga keputusanku tidaklah salah. Harapku kemudian.
Kamis, 10 Ferbuari 2011
Telah satu bulan lebih, aku menjalin hubungan dengan Gus Zaka lebih dari seorang sahabat. Namun anehnya, butir-butir rasa sayang belum banyak tumbuh di hatiku. Hari ini dia akan pulang dari pondok, masa liburan tamrin awal telah datang. Menimbulkan gurat-gurat senyuman di wajah para santri pondok pesantren. Enam bulan terhitung sejak bulan Syawal mereka telah berkutat dengan kitab-kitab kuning atau yang akrab disebut dengan kitab gundul. Disebut kitab gundul karena kitab tersebut berisikan tulisan-tulisan arab tanpa harakat sama sekali, dan membutuhkan pemahaman yang tinggi untuk mampu membacanya apalagi memahami artinya. Dan kini saat bagi mereka untuk sejenak melemaskan otot, merefresh kembali otak mereka.
Aku tak begitu ambil pusing dengan kepulangannya, aku malah sibuk memikirkan tentang gus Tamam, apakah dia masih ingat denganku? Apakah dia akan menghibungiku lagi? Ku sibuk dengan pemikiran dan khayalan yang melintas di otak.
Selasa, 15 Februari 2011
Sejak kepulangannya dari pondok pesantren, gus Zaka agak aneh. Sedikit sekali tersinggung, dia marah-marah. Diapun mulai banyak menggekangku. Tak boleh inilah, tak boleh itulah. Over protective, aku tak suka diperlakukan seperti itu. banyak perubahan yang dia tunjukan kepadaku, kata-katanya pun mulai agak kasar. Kadang dia membentakku, kadang dia juga begitu manja denganku. Aku tak faham bagaimana jalan pikirannya. Aku hanya mampu mencoba tuk mengerti semua ini.
Hingga dia memutuskan tuk mengakhiri hubungannya denganku, aku agak kaget. Tapi aku tak sedih, tak ada sedikit pun rasa kekecewaan yang terselip di hati. Aneh memang, tapi itulahlah yang ku rasakan.
Malam harinya, aku baru bisa meneteskan air mata, bukan karena kehilangan gus Zaka. Tapi karena sebuah pengkhianatan. Aku tak tahu kalau sebenarnya saat gus Zaka menjalin hubungan denganku, dia terlebih dulu telah menjalin hubungan dengan mbak Nafsa, kakak sepupuku. Air mataku tak hentinya menangis, aku tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan mbak Nafsa, jika mengetahui penghiatan ini. Aku tak sanggup. Apalagi jika dia tahu bahwa adik sepupunya lah yang telah tega menusuknya dari belakang. Aku merasa bersalah. Andai aku tahu ini sebelumnya, tak akan aku menerima gus Zaka sebagai seorang kekasih. Siapa yang harus disalahkan. Siapa yang harus menerima hukumannya. Aku ataukah gus Zaka.
Sepanjang malam aku tak hentinya meratap, menyesali semua yang telah terjadi. Maafkan aku mbak, maafkan adikmu yang tahu diri ini. Maafkan penghiatanku ini mbak. Andai aku tahu sebelumnya, aku tak akan pernah mampu menusukmu dari belakang. Aku hanya mampu berdo’a untuk kebahagianmu.
Maafkan aku mbak Nafsa.
*****
Suara adzan maghrib membangunkanku dari lamunan panjang sore itu, mataku telah sembab oleh linangan air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Ku tatap langit yang kini hanya menyisakan rintikan gerimis, wajah mbak Nafsa terlukis sempurna disana. Aku tertunduk, tak kuasa melihat wajah lugunya itu., maafkan aku mbak, semoga Allah berkenan memberikan sebagian rahmat-Nya untuk kau. Do’aku selalu ada untukmu.
1 Response
  1. cerpennya so sweet dech..